Subscribe to Feeds

Orang-orang yang berhenti belajar akan menjadi pemilik masa lalu. Orang-orang yang masih terus belajar, akan menjadi pemilik masa depan.

Wanita yang cantik tanpa peribadi yang mulia ,umpama kaca mata yang bersinar-bersinar, tetapi tidak melihat apa-apa.

MESIR BERGEJOLAK

Revolusi Gaya Tunisia Mengancam Mesir

Para pemimpin negara-negara Arab bersidang di Mesir pada 19 Januari 2011, atau empat hari setelah rekan mereka, Presiden Zine El Abidine Ben Ali, kabur dari Tunisia. Mereka diingatkan krisis di Tunisia bisa menular ke tiap negara Arab. 

"Revolusi di Tunisia tidaklah jauh dari kita. Warga Arab telah memasuki suasana yang sarat kemarahan dan frustrasi," kata Sekretaris Jenderal Liga Arab, Amr Moussa, seperti dikutip kantor berita Associated Press.
"Patut dicamkan oleh semua pihak bahwa orang Arab menderita kemiskinan, pengangguran, dan penurunan sejumlah indikator lainnya. Ini menambah masalah politik yang belum beres," lanjut Moussa pada pertemuan yang dihadiri sang tuan rumah, Presiden Mesir Hosni Mubarak.
Moussa tidak salah. Gelombang "revolusi" di Tunisia menyebar ke tetangga-tetangganya, seperti Aljazair dan Mesir. Kini, justru Mesir menderita paling parah sindrom dari Tunisia itu.
Sama seperti di Tunisia, sebagian besar rakyat Mesir marah karena harga kebutuhan pokok kian mahal, dan pekerjaan layak begitu terbatas.
Hampir setengah dari total populasi Mesir, yang berjumlah 80 juta jiwa, hidup di bawah, atau sedikit di atas garis kemiskinan menurut standar PBB US$2 per hari. Meluasnya kemiskinan, tingginya pengangguran, dan inflasi harga pangan menjadi tantangan besar bagi rezim Mubarak.

Rakyat Mesir juga telah lama hidup dalam situasi terkekang. Mereka tak leluasa mengkritik kekurangan pemerintah, apalagi kepada Presiden Mubarak yang telah 30 tahun berkuasa. Kritik keras bisa berujung ke penjara.

Maka, seperti di Tunisia dan Aljazair, kemarahan mereka menjadi-jadi saat pemerintah tak bisa lagi mengatasi masalah ekonomi. Dalam suatu demonstrasi terbesar di negara itu, Selasa 25 Januari 2011, rakyat Mesir menuntut rezim Mubarak mundur.

"Ini adalah kali pertama bagi saya ikut unjuk rasa. Kami sudah menjadi bangsa penakut, tapi akhirnya kami berani mengatakan tidak," kata Ismail Syed, seorang pekerja hotel di Kairo yang hanya mendapat upah US$50 per bulan, atau tak sampai Rp500.000.

Para demonstran kompak menyebut aksi Selasa kemarin sebagai "hari revolusi atas penyiksaan, kemiskinan, korupsi, dan pengangguran." Walau pemerintah Mesir sudah mengeluarkan larangan, tak ada jaminan dari kaum oposisi, dan rakyat marah, bahwa demonstrasi tak akan berlanjut.

Laman stasiun radio Iran, IRIB World Service, mengungkapkan sejumlah tuntutan para demonstran kepada pemerintah Mesir. Intinya, mereka ingin mengakhiri rezim Presiden Hosni Mubarak, yang berkuasa di Mesir selama 30 tahun, di tengah krisis ekonomi melanda Negeri Piramid itu. 

Empat tuntutan berikut ini didengungkan dalam selebaran yang dibagikan ke massa demonstran.

Pertama, pengunduran diri Mubarak. Kedua, pengunduran diri kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ahmed Mohamed Mahmoud Nazef. Ketiga, pembubaran parlemen dan penjadwalan ulang pemilu. Keempat, pembentukan pemerintahan baru pilihan rakyat.

Pergolakan di Mesir itu terinspirasi oleh gerakan massa di Tunisia beberapa pekan sebelumnya. Rakyat Tunisia mendepak rezim Ben Ali yang telah berkuasa selama 23 tahun. "Kami ingin perubahan, sama seperti di Tunisia," kata Lamia Rayan seorang demonstran di Kairo.

Para pengamat mengatakan revolusi di Tunisia itu menjadi inspirasi rakyat di negara-negara Arab melakukan perlawanan serupa. Mereka muak dengan rezim otoriter. Mereka benci pemujaan bagi sang pemimpin, pada dinasti politik, dan praktik monopoli ekonomi dari para kroni.

"Situasi di Tunisia memberi inspirasi bagi dunia Arab saat ini," kata pengamat Timur Tengah, mantan utusan Liga Arab untuk Perserikatan Bangsa-bangsa, Clovis Maksoud.
"Revolusi itu memicu meledaknya rasa frustrasi rakyat akibat kediktatoran, kemiskinan, dan kesenjangan sosial. Mereka akhinya menjadi kuat," kata Maksoud seperti dikutip laman stasiun televisi Iran Press TV, Selasa 25 Januari 2011. 

Menurut Maksoud, banyak kalangan di negara-negara Arab menginginkan perubahan seperti di Tunisia, tapi mereka tak ingin sampai jatuh banyak korban.

Sebelum krisis di Mesir, gejolak di Tunisia dan Aljazair sebenarnya sudah mengundang kewaspadaan sesama negara Arab. Mereka tak ingin mengalami masalah serupa.
Menurut harian Financial Times, Libya, Yordania dan Maroko berupaya keras agar harga kebutuhan pokok tidak melejit, agar rakyat di negeri mereka tak bangkit karena marah.

Koran Inggris itu mengungkapkan, Libya kini menghapus pajak dan tarif cukai atas produk lokal, dan sejumlah makanan impor seperti gandum, beras, minyak sayur, gula dan susu bayi. Yordania memotong pajak bahan bakar dan sejumlah produk pangan. Maroko menerapkan sistem kompensasi bagi importir tepung agar pasokan tetap terjaga di tengah naiknya harga kebutuhan pokok di tingkat global, terutama bahan pangan.

Pengamat politik mengatakan subsidi pangan adalah andalan bagi pemerintah negara-negara Arab yang umumnya berwatak otoriter itu. Tujuannya agar rakyat tak berulah melawan penguasa. "Mereka tidak akan bertindak macam-macam bila mendapat akses pangan yang murah," demikian tulis Financial Times.
Namun, subsidi itu kini makin berat. Harga pangan di tingkat global melejit di luar kendali. Gejolak di Mesir kini mengancam Mubarak. Tapi bukan berarti Mubarak harus bernasib sama seperti Ben Ali dari Tunisia. Situasi bisa lain.

Profesor Juan Cole, pengamat Timur Tengah dari Universitas Michigan, AS, menilai konflik di Mesir bisa jadi hasilnya berbeda dengan Tunisia. Di Tunisia, militer tak mau melepas tembakan membela Presiden Ben Ali. Karena tak lagi didukung militer, Ben Ali akhirnya menyerah. Dia bersama keluarga kabur ke Arab Saudi.

Menurut Cole, berbeda dengan Ben Ali di Tunisia, Mubarak punya dukungan kuat di militer Mesir.  "Mubarak adalah mantan pejabat tinggi berpengaruh di Angkatan Udara Mesir. Junta militer di Mesir memiliki akar kuat sejak 1952, dan Mubarak keluar dari militer untuk menjadi pemimpin negara itu," kata Cole seperti ditulis The Guardian. "Jadi, Mesir tak sama dengan Tunisia," Cole menambahkan. 
  
Selain itu, rakyat Mesir bisa menikmati sedikit kebebasan berpolitik ketimbang di Tunisia. Di Mesir, misalnya, warga masih boleh memiliki media untuk mengungkapkan rasa frustrasi mereka. Tentu saja, meski agak bebas, media itu tetap di bawah pengawasan rezim Mubarak.(np)

Terus Didemo, Mesir Blok Facebook dan Twitter

Pemerintah Mesir memblokir akses internet ke Facebook dan Twitter di wilayah mereka. Pasalnya, kedua laman jejaring sosial itu telah menjadi andalan para aktivis untuk mengerahkan massa menentang rezim Presiden Hosni Mubarak secara serentak di penjuru Mesir dalam beberapa hari terakhir.
Demonstrasi anti Mubarak terus berlangsung Rabu waktu setempat, kendati pemerintah sudah melarang massa untuk berkumpul dan berunjuk rasa seperti yang mereka lakukan Selasa lalu.
Menurut stasiun berita MSNBC, pemerintah Mesir mulai memblokir akses ke Facebook dan Twitter pada Rabu, 26 Januari 2011, sehari setelah digelar aksi demonstrasi terbesar di negara itu. Warga kini mulai mengeluhkan sulitnya akses ke Facebook. Keluhan telah disampaikan ke markas Facebook di Amerika Serikat.

“Kami mengetahui laporan adanya gangguan pelayanan, namun kami tidak menemukan adanya perubahan berarti pada lalu lintas jaringan di Mesir,” ujar Andrew Noyes, manajer komunikasi kebijakan publik Facebook.

Menurut laporan dari Herdict.org, sebuah laman yang dikelola oleh Universitas Harvard untuk memantau aksesibilitas internet di seluruh dunia, layanan Twitter di Mesir mengalami gangguan. Laporan ini telah dibenarkan oleh Twitter berdasarkan konfirmasi yang dilansir dari laman PCMag.

“Kami mengkonfirmasikan bahwa Twitter diblokir di Mesir pada pukul 8 pagi hari ini (Rabu, 26 Januari 2011). Pemblokiran berdampak pada Twitter dan berbagai aplikasinya,” ujar Twitter pada akun @twitterglobalpr.

“Kami yakin keterbukaan informasi dan pandangan akan memberikan keuntungan pada masyarakat dan membuat pemerintah lebih baik dalam berhubungan dengan rakyat,” lanjut Twitter lagi.

Dengan lima juta penggunanya, Mesir adalah pengguna jejaring sosial terbesar di antara negara-negara Arab. Menurut kantor berita Associated Press, jejaring sosial adalah alat utama para pengunjuk rasa dalam berkomunikasi dan mengumpulkan massa.

Salah satu grup di Facebook yang mendapatkan banyak pengikut adalah “Kami semua Khaled Said”, merujuk nama seorang pengunjuk rasa yang tewas dipukuli polisi keamanan. Pada Selasa, grup ini telah mendapatkan 90.000 pengikut yang menyatakan protesnya terhadap pemerintah.

Berkat ajakan unjuk rasa yang diposting di dua jejaring sosial ini, ribuan orang turun ke jalan pada Selasa dan terus berlanjut pada Rabu. Enam orang dilaporkan tewas di Kairo dan Suez pada bentrokan antara pengunjuk rasa dengan pasukan keamanan.

Larangan Diabaikan, Demo di Mesir Berlanjut

VIVAnews - Larangan pemerintah Mesir agar rakyat tidak lagi berdemonstrasi besar-besaran seperti Selasa kemarin sepertinya tidak digubris. Mereka tetap saja berdemonstrasi, Rabu 26 Januari 2011, menuntut mundurnya rezim presiden Hosni Mubarak, yang telah berkuasa selama 30 tahun.

Akibatnya, bentrokan kembali terjadi antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan di beberapa kota Mesir. Dilaporkan, seorang pengunjuk rasa dan seorang polisi keamanan tewas pada Rabu, 26 Januari 2011. Menurut kantor berita Associated Press, jumlah korban tewas dalam dua hari terakhir menjadi enam orang.

Pasukan keamanan di Kairo terpaksa menyerang dengan tembakan gas air mata dan pentungan karena para pengunjuk rasa dinilai telah melanggar larangan berkumpul di jalan. Sesuai perintah dari Kementerian Dalam Negeri, pasukan keamanan tidak lagi toleran sedikitpun kepada gerombolan orang yang hendak berunjuk rasa.

Lebih dari 2.000 pasukan keamanan membuat beberapa pos di kota Kairo dan di sepanjang jembatan sungai Nil. Pasukan juga ditempatkan di luar beberapa fasilitas rawan, diantaranya adalah stasiun TV dan markas partai Presiden Mesir Hosni Mobarak, Partai Demokrasi Nasional.

Selain yang mengenakan pakaian tempur lengkap dengan tameng, pasukan keamanan juga disebar diantara para pengunjuk rasa. Mereka mengenakan pakaian preman untuk memperoleh informasi dengan berbaur dengan para pengunjuk rasa. Polisi berpakaian preman juga bertugas untuk menangkapi para provokator yang melempari polisi dengan batu.

Total korban tewas hingga Rabu mencapai enam orang. Dua korban terakhir tewas setelah diterjang sebuah mobil yang menerobos kerumunan polisi dan pengunjuk rasa pada Rabu di pusat kota Kairo. Sebelumnya pada Selasa, tiga orang pengunjuk rasa tewas di kota Suez dan seorang polisi terbunuh di Kairo.

“Kerusuhan ini adalah lampu merah bagi rezim Mubarak, ini adalah peringatan,” ujar salah seorang pengunjuk rasa, Abdel-Motalib.

Kerusuhan terus berlangsung hingga malam di beberapa kota di Mesir. Stasiun TV Mesir, Nile News, seperti dilansir dari stasiun berita CNN, melaporkan bahwa 27 orang terluka di timur kota Kairo, tepatnya di dekat teluk Suez. Kebanyakan dari mereka adalah polisi keamanan.
Kelompok Persaudaraan Muslim mengatakan 35 orang terluka di Suez. Menurut laporan Komite Perlindungan Jurnalis, sedikitnya 10 orang wartawan turu menjadi korban pentungan polisi keamanan.

Aksi Selasa kemarin merupakan demonstrasi terbesar di Mesir dalam beberapa tahun terakhir sebagai bentuk kemarahan masyarakat terhadap rezim otoriter Presiden Hosni Mubarak karena tidak mampu mengatasi krisis naiknya harga kebutuhan pokok dan tingginya pengangguran. 

Para demonstran juga menginginkan agar parlemen mengesahkan undang-undang baru agar seorang presiden tidak boleh memimpin lebih dari dua periode berturut-turut. Selain itu, para demonstran juga mendesak Menteri Dalam Negeri Habib al-Adly segera mundur dari jabatannya.

Rakyat Mesir Ajukan Empat Tuntutan

VIVAnews - Rakyat Mesir menggelar demonstrasi secara serentak di sejumlah kota, Selasa 25 Januari 2011 waktu setempat. Aksi itu merupakan yang terbesar di Mesir.

Laman stasiun radio Iran, IRIB World Service, mengungkapkan sejumlah tuntutan para demonstran kepada pemerintah Mesir. Pada intinya mereka ingin mengakhiri rezim Presiden Hosni Mubarak, yang telah memerintah Mesir selama 30 tahun, di tengah krisis ekonomi yang melanda Negeri Piramid itu.  

Dalam selebaran yang dibagi-bagikan kepada para peserta demo, dicantumkan empat tuntutan:
Pertama, pengunduran diri Mubarak. Kedua, pengunduran diri kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ahmed Mohamed Mahmoud Nazef. Ketiga, pembubaran parlemen dan penjadwalan ulang pemilu. Keempat, pembentukan pemerintahan baru pilihan rakyat.

Kamal El Helbawy, mantan juru bicara Ikhwanul Muslimin, mengatakan kepada stasiun televisi Iran, Press TV, bahwa demonstrasi kemarin merupakan yang terbesar dan paling signifikan dalam sejarah Mesir.

Dalam demonstrasi kemarin, sedikitnya dua demonstran dan seorang polisi tewas setelah terlibat baku hantam. Sementara itu, harian Al-Wafd mengungkapkan bahwa polisi menahan 600 orang dalam aksi unjuk rasa serentak Selasa lalu di Kairo, Alexandria, Port Said, Tantan, al-Mahala, Asiut, al-Bahira, dan al-Quium. Sekitar 200.000 orang turut dalam unjuk rasa itu. 

Para demonstran kompak menyebut aksi Selasa kemarin sebagai hari revolusi atas penyiksaan, kemiskinan, korupsi, dan pengangguran. Belum ada kepastian apakah demonstrasi akan berhenti atau akan terus berlanjut.

Mubarak telah memerintah Mesir sejak 1981 dan kini sudah berusia 82 tahun. Namun, dia belum menentukan sikap apakah akan kembali mencalonkan diri sebagai presiden untuk enam tahun berikut atau memilih pensiun. 

Putranya, Gamal, dikabarkan pergi menuju Inggris, Selasa 25 Januari 2011. sebelum muncul krisis di Mesir, Gamal difavoritkan sebagai pengganti ayahnya.
Hampir setengah dari total populasi Mesir--yang berjumlah 80 juta jiwa--hidup di bawah atau sedikit di atas garis kemiskinan, yang menurut standar PBB adalah US$2 per hari. Meluasnya kemiskinan, tingginya tingkat pengangguran, dan inflasi harga pangan menjadi tantangan besar bagi rezim Mubarak.
 Pecah, Demonstrasi Terbesar di Mesir
VIVAnews - Pihak keamanan Mesir terpaksa berjibaku dengan para demonstran dalam unjuk rasa serentak di sejumlah kota, dari Selasa hingga Rabu dini hari. Ini merupakan demonstrasi terbesar di Mesir dalam beberapa tahun terakhir sebagai bentuk kemarahan masyarakat terhadap rezim otoriter Presiden Hosni Mubarak di tengah krisis ekonomi di negara mereka.

"Turunkan Hosni Mubarak, turunkan sang tiran. Kami tidak menginginkan engkau!" teriak para demonstran di Kairo, seperti dilaporkan kantor berita Associated Press. Dalam demonstrasi kemarin, sedikitnya dua demonstran dan seorang polisi tewas setelah terlibat baku hantam.

Demonstrasi massal di Mesir itu terinspirasi oleh gerakan massa di Tunisia beberapa pekan sebelumnya. Didera masalah serupa, yaitu mahalnya harga kebutuhan pokok dan tingginya tingkat pengangguran, rakyat Tunisia berhasil membuat presiden yang telah berkuasa selama 23 tahun, Zine Ben Ali, kabur keluar negeri pada 14 Januari lalu.

Ketidakpuasan atas lambannya pemerintahan Mubarak mengatasi krisis ekonomi membuat sebagian kalangan di Mesir marah. Mereka juga tidak tahan ditekan rezim Mubarak, yang dianggap selalu bertindak sewenang-wenang.

Maka para demonstran kompak menyebut aksi Selasa kemarin sebagai "hari revolusi atas penyiksaan, kemiskinan, korupsi, dan pengangguran," belum ada kepastian apakah demonstrasi akan terus berlanjut.

"Ini merupakan kali pertama bagi saya ikut unjuk rasa. Kami sudah menjadi bangsa penakut, namun akhirnya kami berani mengatakan tidak," kata Ismail Syed, seorang pekerja hotel yang hanya mendapat upah sekitar US$50 per bulan, atau tidak sampai Rp500 ribu.

"Kami ingin perubahan, sama seperti di Tunisia," kata Lamia Rayan.

Sementara itu, pemerintah menyesalkan sikap anarkis para pengunjuk rasa sehingga terjadi bentrokan. "Ada yang sampai melempar batu ke polisi dan yang lainnya berbuat rusuh dan merusak properti negara," demikian pernyataan Kementrian Dalam Negeri. Karena itulah, menurutnya pemerintah harus mengambil tindakan keras.

Hampir setengah dari total populasi Mesir--yang berjumlah 80 juta jiwa--hidup di bawah atau sedikit di atas garis kemiskinan, yang menurut standar PBB adalah US$2 per hari. Meluasnya kemiskinan, tingginya tingkat pengangguran, dan inflasi harga pangan menjadi tantangan besar bagi rezim Mubarak.

Selain itu, Mesir juga mengalami ketegangan antara kaum Muslim dengan Kristen Koptik.

Mubarak telah memerintah Mesir sejak 1981 dan kini sudah berusia 82 tahun. Namun, dia belum menentukan sikap apakah akan kembali mencalonkan diri sebagai presiden untuk enam tahun berikut atau memilih pensiun. (kd)


Mesir Dilanda Demo, Putra Presiden Kabur

VIVAnews - Putra presiden Mesir, Gamal Mubarak, bersama keluarganya menyelamatkan diri ke Inggris di tengah kekacauan di negaranya. Padahal, sebelum muncul krisis di Mesir, Gamal sering disebut-sebut sebagai calon pengganti ayahnya, Hosni Mubarak, yang telah 30 tahun berkuasa di Mesir.

Menurut media Akhbar al-Arab, seperti yang dikutip The Times of India, Gamal bersama istri dan putrinya terbang ke London dari bandara di Kairo. Keberadaan Mubarak sendiri tidak diungkapkan.

Laporan itu muncul saat demonstrasi menentang rezim Mubarak berlangsung secara serentak di penjuru Mesir, Selasa 25 Januari 2011. Pihak keamanan Mesir terpaksa berjibaku dengan para demonstran dalam unjuk rasa serentak di sejumlah kota, dari Selasa hingga Rabu dini hari waktu setempat.

Menurut kantor berita Associated Press, aksi Selasa kemarin merupakan demonstrasi terbesar di Mesir dalam beberapa tahun terakhir sebagai bentuk kemarahan masyarakat terhadap rezim otoriter Presiden Hosni Mubarak karena tidak mampu mengatasi krisis naiknya harga kebutuhan pokok dan tingginya pengangguran.

Dalam demonstrasi kemarin, sedikitnya dua demonstran dan seorang polisi tewas setelah terlibat baku hantam. Mereka menuntut Mubarak agar segera turun dari kekuasaan sekaligus mengakhiri status keadaan darurat di Mesir, yang diterapkan Mubarak sejak memerintah pada 1981.

Para demonstran juga menginginkan agar parlemen mengesahkan undang-undang baru agar seorang presiden tidak boleh memimpin lebih dari dua periode berturut-turut. Selain itu, para demonstran juga mendesak Menteri Dalam Negeri Habib al-Adly segera mundur dari jabatannya.

Sementara itu, harian Al-Wafd mengungkapkan bahwa polisi menahan 600 orang dalam aksi unjuk rasa serentak Selasa lalu di Kairo, Alexandria, Port Said, Tantan, al-Mahala, Asiut, al-Bahira, dan al-Quium. Sekitar 200.000 orang turut dalam unjuk rasa itu. 

Para demonstran kompak menyebut aksi Selasa kemarin sebagai "hari revolusi atas penyiksaan, kemiskinan, korupsi, dan pengangguran," belum ada kepastian apakah demonstrasi akan berhenti atau akan terus berlanjut.

Mubarak telah memerintah Mesir sejak 1981 dan kini sudah berusia 82 tahun. Namun, dia belum menentukan sikap apakah akan kembali mencalonkan diri sebagai presiden untuk enam tahun berikut atau memilih pensiun.




sebelum ini

0 komentar:

Posting Komentar